Saya masih hidup di alam dunia saat
menulis ini, syarat mutlak untuk masih bisa dikatakan hidup adalah ketika Jiwa
(Ruh) dan Raga (Tubuh) saya masih menyatu, mana yang lebih penting?, Jiwa atau
Raga?, mana yang lebih berguna?, pertanyaan bodoh yang tidak perlu dijawab! Meski ‘usia’ Jiwa jauh lebih panjang dibanding
Raga, tentu saja tanpa salah satunya maka saya sudah tidak pantas lagi disebut
hidup, hidup di alam dunia yang saya maksud. Jiwa dan Raga adalah hal yang
tidak bisa dipisahkan, saling mendukung, saling menghargai dan menghormati,
saling membutuhkan, dan tidak ada sepasang kekasih pun didunia ini yang mampu
menandingi kemesraan mereka.
Benarkah...?! Jiwa adalah tempatnya ribuan atau bahkan
jutaan keinginan dan nafsu, seperti juga
kemewahan, ia rakus dan tamak. Sedangkan Raga adalah dimana kebutuhan
bersemayam, disudut Raga yang terpencil terdapat kesederhanaan, ia polos dan
lugu. Ketika Jiwa ini ingin merokok, Raga
ini sama sekali tidak membutuhkan nikotin, tar, dan juga ribuan zat berbahaya nan
merusak lainnya yang terdapat disana. Mereka bersitegang, Jiwa tidak mau
mendengar alasan-alasan, yang terpenting keinginannya terpenuhi dan ketika
akhirnya Raga terpaksa tunduk kepada
keinginan sang Jiwa untuk menghisap asap rokok, ia menangis, ia merasa ternoda,
ia menyalahi fitrahnya dengan merusak dirinya sendiri. Ini terjadi, terjadi
lagi dan terus terjadi, Raga memohon kepada Jiwa untuk berhenti meracuni dan
merusaknya yang berarti juga demi kebaikan Jiwa itu sendiri, namun Jiwa tak
peduli, tak pernah mau peduli. Raga tak kuasa menolak keinginan Jiwa, meski
terluka, ia memperingatkan Jiwa dengan batuk, nafas yang semakin pendek, dada
yang sesak, namun itu tetap tak mampu menimbulkan belas kasih sang Jiwa.
Sang Jiwa semakin menggila dan sang Raga semakin tak
berdaya, Jiwa menginginkan Alkohol, zat adiktif, dan keinginan-keinginan yang
sama sekali tidak dibutuhkan Raga lainnya. Jiwa menginginkan Raga yang terlihat
rupawan dan menarik agar mengalir pujian-pujian yang memuaskan sang Jiwa, meski
Raga hanya membutuhkan kesehatan bukan semata pujian. Jiwa memaksa Raga
memuntahkan kembali makanan yang dibutuhkannya demi memiliki bentuk Raga
ramping yang sempurna bak putri-putri dalam dongeng yang ditampilkan di
layar-layar kaca penuh ilusi. Raga telah menjadi kerdil sedangkan Jiwa semakin
seperti raksasa yang merasa berkuasa, untuk apa Jiwa tertawa sementara Raga
menangis?
Bayangkan ketika Jiwa dan Raga sedang bermesraan, ketika
keinginan merupakan sebuah kebutuhan, ketika Raga terlalu lelah beraktifitas
Jiwa memberi senyum lembut mengantar hingga mencapai gelombang Delta, dan
nampaknya Raga saya sudah memberi peringatan bahwa dia telah letih malam ini
setelah aktifitas seharian ini dengan menguap berkali-kali. Baiklah, saatnya
beristirahat. Eh, ternyata kalau dipikir-pikir, saya ini ternyata munafik juga
ya, teriak-teriak merdeka, anti penindasan, anti kekerasan, tapi ternyata Jiwa
saya masih menjadi penindas bagi Raga saya.