Akhir-akhir
ini saya merasa terlalu mudah menemukan pertikaian, perseteruan, perkelahian
dan sebangsanya baik itu di layar kaca, media cetak, radio atau bahkan social
media. Semua berlomba-lomba menunjukkan dirinyalah yang paling berhak,
paling pintar dan paling benar. Mungkin anda pernah mendengar sebuah cerita
Sufi mengenai Gajah dan beberapa orang yang tak mampu melihat, nah ini hampir
miriplah.... J
Katakanlah
begini, ada empat orang (maaf) berkebutuhan khusus yang tidak mampu melihat sejak
lahir yang seumur hidupnya belum pernah mengetahui bentuk hewan yang bernama
Gajah, mereka pun malu menanyakan kepada orang lain yang pernah melihatnya ,
dan mereka benar-benar dibuat penasaran oleh bentuk hewan yang pernah menjadi
raja hutan itu, lalu suatu hari mereka mendengar ada rombongan sirkus yang akan mengadakan
pertunjukkan di kota mereka, dan mereka mendengar akan ada pertunjukan Gajah di
sirkus tersebut, salah seorang dari mereka memiliki ide agar mendatangi
pertunjukan tersebut untuk mengetahui seperti apa sih makhluk ciptaanNya yang
bernama Gajah itu, akhirnya mereka sepakat untuk mendatangi arena dimana
pertunjukkan tersebut akan berlangsung, beberapa jam sebelum pertunjukan dimulai,
singkat cerita (yah beginilah kalau penulis
malas... lho? Yang penting kan tidak mengurangi esensinya? *ngeles :p )
Setelah
tiba di arena mereka menemui dan
menyampaikan maksud kedatangan kepada sang pemilik sirkus dan pawang Gajah, akhirnya
mereka ditemani oleh sang pawang yang baik hati dan senang membantu mempersilakan
mereka untuk masuk ke kandang Gajah yang besar dan kokoh itu, “Nah, tuan-tuan...beberapa langkah di depan
tuan-tuan terdapat seekor hewan bernama Gajah yang sangat jinak, mohon maaf
saya tidak dapat mendampingi tuan-tuan karena harus melakukan persiapan untuk
pertunjukan hari ini, silakan tuan-tuan mencari tahu dengan cara masing-masing
mengenai hewan tersebut, waktu tuan-tuan hanya sepuluh menit karena setelah itu
Gajah ini akan dipersiapkan untuk pertunjukan.”, “Oh, baik om pawang, terimakasih.”, jawab
mereka serempak, lalu tanpa membuang waktu keempatnya lalu berhamburan
melangkah menuju sang Gajah. Orang pertama menangkap belalai sang Gajah, “Oh, ternyata Gajah seperti ini ya, panjang,
lunak dan meliuk-liuk.” ujarnya dalam hati, sedangkan orang yang kedua
mendaratkan kedua telapak tangannya kepada telinga sang Gajah, “Ternyata Gajah itu tipis, lebar, luas dan
kasar seperti karpet.”, Gumamnya menyimpulkan. “Aduh!”, seru orang yang ketiga ketika ternyata ia menabrak tubuh
besar sang Gajah, lalu ia membentangkan kedua tangan dan mulai mengusap-usap
tubuh sang Gajah, “Waaah, ternyata Gajah
itu seperti tembok, keras namun berkerut dan ada rambutnya juga ya.”. Orang
yang keempat ternyata berjalan terlalu menepi, kedua tangannya masih bergerak
kesana-kemari dan jari-jemarinya pun masih meraba-raba di udara, dengan
hati-hati ia melangkah, tiba-tiba langkahnya terhenti ketika kesepuluh jarinya
menyentuh jeruji baja kandang sang Gajah tersebut, ia tertegun, indera
perabanya bergerak kesana-kemari, lalu menyentuh, meraba, menggenggam dan
menarik jeruji-jeruji itu, “Lho, ternyata
Gajah itu...”, kalimatnya terhenti, ia berfikir sejenak lalu melanjutkan
kalimatnya, “Hmmm, Gajah ternyata keras,
dingin dan kuat seperti tiang listrik hanya sedikit lebih kecil.” Setelah
itu ia langsung kembali menuju pintu kandang dengan mantap sambil tersenyum
puas. Ketiga orang dari mereka meski memang benar menyentuh sang Gajah namun hanya
menyentuh satu bagian saja, dan keliru memahaminya.
Seberapa
banyak dalam kehidupan nyata, seorang pemimpin, seorang pengambil keputusan, pemuka
agama, atau bahkan seorang yang bertanggung jawab atas hajat hidup orang sangat
banyak ternyata adalah orang yang keempat, yang memegang jeruji baja namun
meyakini kalau bagian tubuh sang Gajahlah yang telah ia pegang. Atau bisa saja
orang yang keempat ini berwujud media massa, pengendali opini publik, aparat
dan penegak hukum atau...jangan-jangan mereka, kalian, kami, kita, anda atau saya
juga termasuk golongan orang yang keempat ini??? Astagfirullah.